Tradisi Bukakak merupakan simbol wujud rasa syukur masyarakat Desa Sudaji akan hasil panen yang melimpah setiap tahunnya, khususnya untuk krama Subak di Desa Sudaji, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Bali. Tradisi ini termasuk ke dalam serangkaian Pujawali—sebagai penutup acara—yang sedang berlangsung di Desa Sudaji, tepatnya dua hari setelah Purnama Kasa.
Sudah turun temurun Tradisi Bukakak dilakukan di Desa Sudaji. Tradisi ini sebenarnya adalah simbol yang digunakan sebagai bentuk rasa syukur kami atas hasil panen petani yang melimpah. Sehingga setiap tahunnya kami selalu melakukan tradisi ini. Terdapat dua Bukakak di desa kami, yang pertama Bukakak Alit dan yang kedua Bukakak Ageng.
Bukakak Alit akan disiapkan dan diarak dari Pura Taman yang berada di Banjar Dukuh, Desa Sudaji menuju ke perempatan. Sedangkan untuk Bukakak Ageng dipersiapkan di Pura Desa Sudaji yang kemudian menyusul ke perempatan desa.
Bukakak sendiri merupakan babi guling yang dibakar setengah matang, kemudian diikat pada sanan bambu, yang selanjutnya diarak ke perempatan desa. Babi yang digunakan tersebut juga tidak boleh sembarangan.
Babi yang dapat digunakan untuk Bukakak harus memenuhi beberapa persyaratan, seperti memiliki bulu yang hitam legam dan tidak boleh ada cacat di bagian tubuhnya.Para penyongsong Bukakak Alit mulai berlari ke arah perempatan, kemudian ke arah selatan untuk menjemput Bukakak Ageng. Mengetahui Bukakak Alit sudah tiba, dari arah selatan, Bukakak Ageng dengan penyongsongnya yang berciri khas menggunakan slayer segitiga berwarna hijau mulai berjalan menyusul Bukakak Alit untuk kembali ke perempatan desa.
Gemuruh tepuk tangan dan sorak penonton terdengar, ketika salah satu pembawa sundih (obor dari daun kelapa tua) mulai menderakan benda berisikan api tersebut ke badan Bukakak. Segera percikan api tercipta dari gesekan yang terjadi antara dua benda tersebut, kemudian kedua Bukakak dengan cepat berlarian ke arah utara perempatan, yang di iringi suara gamelan gong.
Beberapa menit kemudian, mereka kembali ke barat lalu selatan, secara berulang, berlarian, seakan-akan penyongsong tidak merasa lelah dengan kondisi tersebut—bahkan terlihat sangat bersemangat dengan riangnya. Tak kalah dengan penyongsong, penonton juga bersemangat dan bersorak kegirangan melihat tradisi yang ditunggu-tunggu selama kurang lebih setahun terakhir itu.ercikan api dari sundih daun kelapa beberapa kali terlihat, dan setelahnya penonton akan berteriak senang sambil bertepuk tangan melihat hal itu. Hingga pada pukulan dari sundih yang terakhir, menandakan bahwa tradisi Bukakak sudah berakhir dan kembali dibawa ke pura. Begitu juga para penonton, sedikit demi sedikit meninggalkan perempatan desa untuk segera kembali kerumah masing-masing.
Di jaba pura, ketika Bukakak sudah diletakkan ke jeroan pura, para penyongsong beristirahat dan meminum air sembari menikmati hidangan jajanan khas Bali seperti sumping, laklak dan yang lainnya sebelum kembali ke rumah mereka.