SEJARAH DESA
Dalam
menelusuri desa Galungan sagatlah sulit karena langkanya sumber-sumber yang
ada, untuk mendapatkan kebenarannya kami mengadakan wawancara dengan
tokoh-tokoh masyarakat yang tahu asal-usul desa Galungan, disamping itu juga
membanding-bandingkan dengan cerita rakyat. Desa galungan merupakan daerah
pegunungan, yang luasnya: ± 14.875 Km2, terletak 16 Km dari kota kecamatan
Sawan, dengan ketinggian 400-900m dari permukaan laut.
Menurut
punuturan orang-orang tua (para ulu) dari desa ini, asal mula nama desa ini
adalah desa “ GAINGAN” yang letak pusat kegiatannya disebelah utara: ± 300 m
dari tempat ini ( Kantor Kepala Desa). Pada waktu itudesa terdiri dari dua
banjar yaitu: Banjar Seming dan Banjar Bingin, yang jaraknya ± 1.500
m yang dibatasi oleh bebukitan yang membentang dari utara ke selatan.
Banjar
Seming merupakan komplek pemukiman warga asli desa ini, yang menurut penuturan
orang-orang tua bahwa sewaktu warga desa mengadakan persiapan upacara agama dan
sewaktu ibu-ibu bergotong-royong (mekeet) membuat sesajen, tiba-tiba dating
seekor Kijang Putih mendekati ibu-ibu yang sedang sibuk bergotong-royong,
melihat Kijang itu, masyarakat spontan memburu Kijang Putih tersebut, dan
dagingnya dibagi-bagikan. Kebetulan setelah memburu Kijang Putih itu, desa ini
mengalami wabah penyakit (Bah Bedeg) dimana banyak warga sakit dan langsung
meninggal,yang mengakibatkan banyak penduduk desa meninggal. Yang mengakibatkan
kuburan penuh, dan banyak mayat-mayat tak sempat dikubur hingga membusuk
dan kering diatas tanah(Tuh Gaing). Maka keadaan itu disebut Megaing yang
artinya Mayat kering tak terkubur, karma itulah banjar Seming di beri nama
Banjar Gaingan.
Akhirnya
penduduk desa yang masih hidup berpindah tempat kearah Selatan (Desa Sekarang),
yang bertepatan pada hari Rabu Kliwon Dungulan, oleh karena itulah disebut Desa
Galungan hingga sekarang.
Penduduk
Desa Galungan kebanyakan terdiri dari:
Warga
Pasek kayu Selem 2 dadia. Pasek Gel-gel 3 dadia, Pasek tangkas 1 dadia. Dukuh
Sagening 1 dadia. Desa Galungan termasuk sisa-sisa Desa Kuno, dengan
cirri-ciri ada Pengglingsir desa atau Ulun desa. Dan pada lokasi tersebut
banyak ditemukan barang-barang kuno seperti: Kendi dan seperangkat
barang-barang perhiasan yang terbuat dari Emas dan Permata.
Upaya Desa Galungan di Kecamatan Sawan, Buleleng Mengelola Ekowisata
DESA Galungan selama ini dikenal sebagai desa agraris. Nyaris 80 persen penduduknya adalah petani. Ada yang menggarap sawah, ada pula yang menggarap lahan perkebunan cengkih.Di tengah kehidupan agraris itu, masyarakat kini mengintip peluang baru. Yakni sektor pariwisata. Sektor ini diharapkan dapat memberikan dorongan ekonomi bagi desa. Pariwisata yang digarapan adalah pariwisata berbasis alam. Yakni wisata Air Terjun Tanah Putih. Air terjun ini sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat setempat. Hanya saja tak pernah dipromosikan pada masyarakat luas di luar desa.Air terjun itu terletak di dalam kawasan hutan. Hanya beberapa masyarakat yang mengetahui keberadaan air terjun tersebut. Biasanya masyarakat yang kerap masuk hutan guna berburu madu, telah mengenali lokasinya.
Sejak 2010, pihak desa
mengajukan permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD). Akhirnya Kementerian
Kehutanan memberikan izin pengelolaan hutan desa seluas 712 hektare. Di dalam
kawasan hutan desa itu, terdapat air terjun. Untuk menuju Air Terjun Tanah
Putih, pengunjung harus berjalan sejauh sekitar 4 kilometer. Tidak ada akses
bagi kendaraan bermotor. Akses sengaja dibuat untuk jalur pejalan kaki.
Sehingga pengunjung bisa melakukan tracking. Sekaligus menikmati suasana
persawahan dan perkebunan. “Kami sudah promosikan dari 4 tahun yang lalu.
Memang lokasi ini untuk wisata minat khusus. Karena berada di dalam kawasan
hutan. Jadi harus diakses dengan jalan kaki. Sudah ada jalur yang disiapkan ke
sana,” kata Perbekel Galungan, I Nyoman Suksema. Saat awal dikenalkan,
kunjungan ke lokasi tersebut sangat diminati wisatawan mancanegara. Di mata
wisatawan, kunjungan itu ibarat sambil menyelam minum air. “Mereka dapat sensasi tracking dan
melihat pemandangan desa, kemudian garis akhirnya itu di air terjun. Sudah ada
puluhan wisatawan mancanegara yang ke sini. Tapi karena pandemi, akhrinya
mandeg,” ungkapnya. Masa pandemi, kata Suksema, menjadi momentum bagi pemerintahan
desa melakukan penataan. Selama setahun terakhir, pihak desa mulai melakukan
penataan infrastruktur jalan serta telajakan di sepanjang jalan. Sehingga
pengunjung lebih nyaman. Lebih lanjut Suksema menuturkan, ada sejumlah
pantangan yang harus diperhatikan pengunjung saat berwisata ke sana. Pengunjung
harus memperhatikan norma kesopanan. Selain itu pengunjung yang sedang dalam
kondisi sebel dan cuntaka, tidak diizinkan berkunjung ke sana.
“Di sana lokasi sakral. Ada pura yang sangat dijaga masyarakat kami. Sebelum
masuk air terjun, pengunjung harus sembahyang dulu. Kalau keyakinannya berbeda,
bisa mengajak pemandu dari warga setempat. Supaya tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan,” katanya. Hingga kini pihak desa belum menentukan tarif masuk
ke lokasi air terjun tersebut. Pengunjung hanya ditarik sumbangan sukarela yang
diserahkan pada pengelola kawasan. (*)