(0362) 21746
camatsawan50@gmail.com
Kecamatan Sawan

Sejarah dan Potensi Desa Galungan

Admin sawan | 21 Juni 2022 | 771 kali

SEJARAH DESA

 

Dalam menelusuri desa Galungan sagatlah sulit karena langkanya sumber-sumber yang ada, untuk mendapatkan kebenarannya kami mengadakan wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat yang tahu asal-usul desa Galungan, disamping itu juga membanding-bandingkan dengan cerita rakyat. Desa galungan merupakan daerah pegunungan, yang luasnya: ± 14.875 Km2, terletak 16 Km dari kota kecamatan Sawan, dengan ketinggian 400-900m dari permukaan laut.

Menurut punuturan orang-orang tua (para ulu) dari desa ini, asal mula nama desa ini adalah desa “ GAINGAN” yang letak pusat kegiatannya disebelah utara: ± 300 m dari tempat ini ( Kantor Kepala Desa). Pada waktu itudesa terdiri dari dua banjar yaitu: Banjar Seming dan Banjar Bingin, yang jaraknya ±  1.500 m yang dibatasi oleh bebukitan yang membentang dari utara ke selatan.

Banjar Seming merupakan komplek pemukiman warga asli desa ini, yang menurut penuturan orang-orang tua bahwa sewaktu warga desa mengadakan persiapan upacara agama dan sewaktu ibu-ibu bergotong-royong (mekeet) membuat sesajen, tiba-tiba dating seekor Kijang Putih mendekati ibu-ibu yang sedang sibuk bergotong-royong, melihat Kijang itu, masyarakat spontan memburu Kijang Putih tersebut, dan dagingnya dibagi-bagikan. Kebetulan setelah memburu Kijang Putih itu, desa ini mengalami wabah penyakit (Bah Bedeg) dimana banyak warga sakit dan langsung meninggal,yang mengakibatkan banyak penduduk desa meninggal. Yang mengakibatkan kuburan penuh,  dan banyak mayat-mayat tak sempat dikubur hingga membusuk dan kering diatas tanah(Tuh Gaing). Maka keadaan itu disebut Megaing yang artinya Mayat kering tak terkubur, karma itulah banjar Seming di beri nama Banjar Gaingan.

Akhirnya penduduk desa yang masih hidup berpindah tempat kearah Selatan (Desa Sekarang), yang bertepatan pada hari Rabu Kliwon Dungulan, oleh karena itulah disebut Desa Galungan hingga sekarang.

Penduduk Desa Galungan kebanyakan terdiri dari:

Warga Pasek kayu Selem 2 dadia. Pasek Gel-gel 3 dadia, Pasek tangkas 1 dadia. Dukuh Sagening 1 dadia.  Desa Galungan termasuk sisa-sisa Desa Kuno, dengan cirri-ciri ada Pengglingsir desa atau Ulun desa. Dan pada lokasi tersebut banyak ditemukan barang-barang kuno seperti: Kendi dan seperangkat barang-barang perhiasan yang terbuat dari Emas dan Permata.

 

Upaya Desa Galungan di Kecamatan Sawan, Buleleng Mengelola Ekowisata

DESA Galungan selama ini dikenal sebagai desa agraris. Nyaris 80 persen penduduknya adalah petani. Ada yang menggarap sawah, ada pula yang menggarap lahan perkebunan cengkih.Di tengah kehidupan agraris itu, masyarakat kini mengintip peluang baru. Yakni sektor pariwisata. Sektor ini diharapkan dapat memberikan dorongan ekonomi bagi desa. Pariwisata yang digarapan adalah pariwisata berbasis alam. Yakni wisata Air Terjun Tanah Putih. Air terjun ini sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat setempat. Hanya saja tak pernah dipromosikan pada masyarakat luas di luar desa.Air terjun itu terletak di dalam kawasan hutan. Hanya beberapa masyarakat yang mengetahui keberadaan air terjun tersebut. Biasanya masyarakat yang kerap masuk hutan guna berburu madu, telah mengenali lokasinya.

Sejak 2010, pihak desa mengajukan permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD). Akhirnya Kementerian Kehutanan memberikan izin pengelolaan hutan desa seluas 712 hektare. Di dalam kawasan hutan desa itu, terdapat air terjun. Untuk menuju Air Terjun Tanah Putih, pengunjung harus berjalan sejauh sekitar 4 kilometer. Tidak ada akses bagi kendaraan bermotor. Akses sengaja dibuat untuk jalur pejalan kaki. Sehingga pengunjung bisa melakukan tracking. Sekaligus menikmati suasana persawahan dan perkebunan. “Kami sudah promosikan dari 4 tahun yang lalu. Memang lokasi ini untuk wisata minat khusus. Karena berada di dalam kawasan hutan. Jadi harus diakses dengan jalan kaki. Sudah ada jalur yang disiapkan ke sana,” kata Perbekel Galungan, I Nyoman Suksema. Saat awal dikenalkan, kunjungan ke lokasi tersebut sangat diminati wisatawan mancanegara. Di mata wisatawan, kunjungan itu ibarat sambil menyelam minum air. “Mereka dapat sensasi tracking dan melihat pemandangan desa, kemudian garis akhirnya itu di air terjun. Sudah ada puluhan wisatawan mancanegara yang ke sini. Tapi karena pandemi, akhrinya mandeg,” ungkapnya. Masa pandemi, kata Suksema, menjadi momentum bagi pemerintahan desa melakukan penataan. Selama setahun terakhir, pihak desa mulai melakukan penataan infrastruktur jalan serta telajakan di sepanjang jalan. Sehingga pengunjung lebih nyaman. Lebih lanjut Suksema menuturkan, ada sejumlah pantangan yang harus diperhatikan pengunjung saat berwisata ke sana. Pengunjung harus memperhatikan norma kesopanan. Selain itu pengunjung yang sedang dalam kondisi sebel dan cuntaka, tidak diizinkan berkunjung ke sana. “Di sana lokasi sakral. Ada pura yang sangat dijaga masyarakat kami. Sebelum masuk air terjun, pengunjung harus sembahyang dulu. Kalau keyakinannya berbeda, bisa mengajak pemandu dari warga setempat. Supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” katanya. Hingga kini pihak desa belum menentukan tarif masuk ke lokasi air terjun tersebut. Pengunjung hanya ditarik sumbangan sukarela yang diserahkan pada pengelola kawasan. (*)