(0362) 21746
camatsawan50@gmail.com
Kecamatan Sawan

Sejarah Desa Bebetin

Admin sawan | 21 Juni 2022 | 250 kali

SEJARAH DESA

Dari tahun 1343 – tahun 1605, sejarah Desa Bebetin masih gelap, karena belum ada sumber tertulis yang menjelaskan tentang Bebetin. Kemudian semenjak kekuasaan I Gusti Ngurah Panji Sakti di Kerajaan Buleleng atau pada masa pemerintahan Dalem Di Made di Klungkung ( 1605-1686), nama Bebetin disebut-sebut kembali dengan pemimpinnya pada saat itu dipegang oleh seorang Pasek Bebetin.

Pada tahun 1815 suasana di Bebetin masih tetap di bawah pemerintahan Raja Buleleng, yaitu keturunan I Gusti Ngurah Panji Sakti, dengan pusat pemerintahan di ibukota Kabupaten Buleleng sekarang

Pada tahun 1815 disebut-sebutlah para tertua di Desa Bebetin, yaitu Jero Gede Pasek, Jero Gede Bendesa , Jero Pasek Gede Dana dari Kawanan, I Made Dwaja dari Kawanan, Kumpi Gumiana dari Pulasari, leluhurnya Buyut Sringanti dari warga Dalem Sukawati dan lain-lain. Beliau-beliau itulah yang diceritakan melanjutkan pembangunan di Desa Bebetin. Bebetin pun semakin marak berkembang dibarengi dengan datangnya warga-warga dari Bali Selatan maupun dari Bali Utara. Warga-warga ini menetap di Desa Bebetin dan menjadi kerama Desa bebetin. Disamping menjadi krama , tiap-tiap warga yang datang ke desa ini langsung membangun pura keluarga yang disebut panti, paibon, dadiya dan lain-lain. Sampai saat ini pura-pura keluarga di Desa Bebetin berjumlah 40 buah pura dengan anggota ( pengempon ) 3-250 KK. Sedangkan untuk Desa Adat Bebetin ditandai dengan adanya konsep Tri Hita Karana, yaitu Kahyangan Tiga (Pura Bukit, Pura Bale Agung, Pura Dalem, dan pura wewiden lainnya); Palemahan; dan Pawongan.


Nama Banwa Bharu pertama kali terbaca dalam Prasasti Bebetin yang bertahun Caka 818 atau 896 Masehi Prasasti ini berbahasa Bali Kuno. Prasasti ini berisi keterangan tentang suatu desa (banwa) bharu, atau secara lengkapnya kuta di banwa bharu, yang bermakna desa bharu yang berbenteng. Prasasti Bebetin AI ini tidak menyebutkan nama raja yang mengeluarkan prasasti, namun menyebutkan nama kraton, yang dinamakan panglapukan di Singamandawa. Dalam prasasti diceritakan tentang desa itu yang diserang atau dirusak oleh perampok. Banyak penduduk mati terbunuh atau terluka, serta banyak pula yang mengungsi ke desa-desa tetangga. Setelah keadaan aman, penduduk lalu kembali ke desa bharu.

Dalam prasasti juga disebutkan bahwa penduduk banwa bharu selain bercocok tanam juga memelihara ternak, sebagai undagi dan pande serta kegiatan seni seperti pamukul (penabuh gamelan), Pagending (Pesinden), Pabunying (Penabuh angklung), Papadaha (Penabuh kendang), Parbhangsi (Peniup seruling besar), Patapukan (Perkumpulan topeng) dan Parbwayang (dalang).

 

Cikal bakal sampi grumbungan

 

Parade Sampi Gerumbungan di Desa Bebetin , Kecamatan Sawan |Foto : Putu Nugraha Hardiyanta|

Singaraja, koranbuleleng.com | Parade sampi gerumbungan digelar di Desa Bebetin, Kecamatan Sawan, Buleleng, Sabtu 19 Nopember 2016.  Tampak, seorang tokoh desa setempat, Jro Bau I Gede Subandi, yang umurnya kini sudah mendekati angka tujuh puluh tahun, namun ia tampak masih cekatan memasang sejumlah hiasan kepala serta memasang tali sais dan properti lainnya. Jro Bau I Gede Subandi, salah satu tokoh masyarakat di Desa Bebetin yang sampai kini masih melestarikan dan memelihara sapi-sapi yang secara khusus diikutkan untuk melaksanakan tradisi sampi gerumbungan.

Menurut Jro Bau I Gede Subandi, Desa Bebetin adalah cikal bakal lahirnya sampi gerumbungan di Bali utara. Di Desa ini, terkenal bibit sapi yang bagus baik dari segi fisik maupun cara pemeliharaan sapi. Maka itu, Desa Bebetin mempunyai semboyan Wiwit Merta Sari. Dalam konteks bahasa Indonesia, Wiwit Merta Sari ini mempunyai arti bahwa bibit-bibit sapi yang baik ini membawa rejeki bagi masyarakat di Desa Bebetin. Semboyan ini juga digunakan sebagai nama kelompok tani ternak di Desa Bebetin sejak tahun 2002.

Jro Bau Gede Subandi menerangkan, tradisi sampi gerumbunganin di Desa Bebetin erat kaitanya dengan tradisi budaya agraris serta ritual keagamaan hindu di Bali.

“Kepercayaan masyarakat Desa Bebetin terhadap sapi gerumbungan sangat kental, istilahnya dulu leluhur kita untuk  naur sangi (membayar kahul) ketika sapi gerumbungan digunakan membajak dalam alih fungsi ladang menjadi lahan persawahan. Dipercayai, Membajak sawah dengan sapi maka hasil pertanian bakal melimpah ruah, biasanya setelah berhasil warga tersebut membayarnya dengan sesajen “tegak kedik” dan menggelar atraksi sapi gerumbungan sebagai ucapan rasa terima kasih atas keberhasilan yang dicapai,” tutur Jro Bau Subandi.

Karena itulah, sebagian besar petani di Desa Bebetin sampai kini sebenarnya masih menjaga tradisi membajak sawah dengan sepasang sapi. Selain untuk menjaga tradisi, keyakinan bahwa hasil persawahan dan pertanian akan berlimpah jika menggunakan sapi saat membajak masih tertanam dengan baik di pemikiran mereka.

Jro Bau Gede Subandi mengucapkan bahwa Desa bebetin yang menjadi pionir Sampi Gerumbungan di Bali. Warga setempat sangat cekatan dalam memelihara sapi. Mereka bis amembedakan, sapi yang baik untuk gerumbungan maupun hanya sekedar untuk membajak sawah.

Sapi Gerumbungan di Buleleng lebih menekankan unsur keindahan, keseragaman dari langkah kaki, serta bentuk tubuh sapi yang tegak dan gagah.

“Berbeda dengan daerah lain, kalau itu kan balapan mereka lebih mengutamakan kecepatan. Kalau kita disini lebih pada unsur keindahan, keseragaman. Ini mencerminkan bahwa masyarakat kita sangat telaten memelihara sapi. Jangan salah, warga di Desa Bebetin terbiasa memijat badan dan kaki sapi supaya terlihat bagus, dan jika badan sapi bagus maka nilai jual juga tinggi,” terang Jero Subandi.

Bukan hanya di Desa Bebetin, sejumlah petani di sekitar desa-desa yang berdekatan dengan Desa Bebetin juga masih banyak petani yang membajak dengan menggunakan sapi. Salah satunya, Gede Nala, di Desa Sawan masih terlihat membajak areal persawahannya dengan empat ekor sapi.

Menurut Gede Nala, dirinya meyakini bahwa warisan membajak sawah dengan sapi dari leluhurnya akan menurunkan kebaikan juga, walaupun kini banyak uga petani yang sudah beralih ke traktor.

“Banyak juga petani yang memabajak dengan traktor, tapi saya tidak bisa dirayu dengan traktor. Saya ingin tetap mempertahankan tradisi membajak dengan sapi karena keyakinan kami hasil pertanian pasti baik. Alam tetap terjaga tidak terkontaminasi polusi,” terang nala saat ditemui membajak sawahnya dengan sapi.

Nala juga mengakui, dirinya juga masuk dalam kelompok sapmpi gerumbungan di desanya. Dan sering ikut dalam parade sampi gerumbungan di beberapa daerah di Buleleng.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng, Nyoman Sutrisna saat ditemui di sela-sela acara sampi Gerumbungan di Desa Bebetin mengucapkan atraksi sampi gerumbungan ini adalah salah satu atraksi wisata yang patut dipromosikan oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng.

Sampi Gerumbungan adalah kekayaan khasanah budaya lokal Buleleng yang berbeda dengan daerah lain seperti Jembrana maupun Madura. Sampi Gerumbungan di Buleleng lebih menekankan pada sisi keindahan.

“Atraksi sapi gerumbungan yang digelar merupakan langkah promosi mengenalkan keragaman atraksi seni dan budaya yang dimiliki Kabupaten Buleleng, saat ini khusus pada Bage bagian Timur. Selanjutnya kami akan mengadakan pembinaan ke Bage bagian tengah dan barat, arah kedepan jika pembinaan ini berhasil dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bersama dengan desa, tentu pada festival yang digelar mendatang parade yang ditampilkan menarik dan juga lebih atraktif,” terang Sutrisna.