SEJARAH DESA
Dari
tahun 1343 – tahun 1605, sejarah Desa Bebetin masih
gelap, karena belum ada sumber tertulis yang menjelaskan tentang Bebetin.
Kemudian semenjak kekuasaan I Gusti Ngurah Panji Sakti di
Kerajaan Buleleng atau pada masa pemerintahan Dalem Di Made di
Klungkung ( 1605-1686), nama Bebetin disebut-sebut kembali dengan pemimpinnya
pada saat itu dipegang oleh seorang Pasek Bebetin.
Pada
tahun 1815 suasana di Bebetin masih tetap di bawah pemerintahan Raja Buleleng,
yaitu keturunan I Gusti Ngurah Panji Sakti,
dengan pusat pemerintahan di ibukota Kabupaten Buleleng sekarang
Pada
tahun 1815 disebut-sebutlah para tertua di Desa Bebetin, yaitu Jero Gede Pasek, Jero Gede Bendesa
, Jero Pasek Gede Dana dari Kawanan, I Made Dwaja dari Kawanan, Kumpi Gumiana
dari Pulasari, leluhurnya Buyut Sringanti dari warga Dalem Sukawati dan
lain-lain. Beliau-beliau itulah yang diceritakan melanjutkan pembangunan di
Desa Bebetin. Bebetin pun semakin marak berkembang dibarengi dengan datangnya
warga-warga dari Bali Selatan maupun dari Bali Utara. Warga-warga ini menetap
di Desa Bebetin dan menjadi kerama Desa bebetin. Disamping menjadi krama ,
tiap-tiap warga yang datang ke desa ini langsung membangun pura keluarga yang
disebut panti, paibon, dadiya dan lain-lain. Sampai saat ini pura-pura keluarga
di Desa Bebetin berjumlah 40 buah pura dengan anggota ( pengempon ) 3-250 KK.
Sedangkan untuk Desa Adat Bebetin ditandai dengan adanya konsep Tri Hita Karana,
yaitu Kahyangan Tiga (Pura Bukit, Pura Bale Agung, Pura Dalem, dan pura wewiden lainnya); Palemahan; dan Pawongan.
Nama Banwa Bharu pertama kali terbaca dalam Prasasti Bebetin yang
bertahun Caka 818 atau 896 Masehi Prasasti ini berbahasa Bali Kuno. Prasasti
ini berisi keterangan tentang suatu desa (banwa) bharu, atau secara lengkapnya
kuta di banwa bharu, yang bermakna desa bharu yang berbenteng. Prasasti Bebetin
AI ini tidak menyebutkan nama raja yang mengeluarkan prasasti, namun menyebutkan
nama kraton, yang dinamakan panglapukan di Singamandawa. Dalam prasasti
diceritakan tentang desa itu yang diserang atau dirusak oleh perampok. Banyak
penduduk mati terbunuh atau terluka, serta banyak pula yang mengungsi ke
desa-desa tetangga. Setelah keadaan aman, penduduk lalu kembali ke desa bharu.
Dalam prasasti juga disebutkan bahwa penduduk banwa bharu selain
bercocok tanam juga memelihara ternak, sebagai undagi dan pande serta kegiatan
seni seperti pamukul (penabuh gamelan), Pagending (Pesinden), Pabunying
(Penabuh angklung), Papadaha (Penabuh kendang), Parbhangsi (Peniup seruling
besar), Patapukan (Perkumpulan topeng) dan Parbwayang (dalang).
Cikal bakal sampi grumbungan
Parade Sampi Gerumbungan di Desa Bebetin , Kecamatan Sawan |Foto :
Putu Nugraha Hardiyanta|
Singaraja,
koranbuleleng.com | Parade sampi gerumbungan digelar di Desa Bebetin, Kecamatan
Sawan, Buleleng, Sabtu 19 Nopember 2016. Tampak, seorang tokoh desa
setempat, Jro Bau I Gede Subandi, yang umurnya kini sudah mendekati angka tujuh
puluh tahun, namun ia tampak masih cekatan memasang sejumlah hiasan kepala
serta memasang tali sais dan properti lainnya. Jro Bau I Gede Subandi, salah
satu tokoh masyarakat di Desa Bebetin yang sampai kini masih melestarikan dan
memelihara sapi-sapi yang secara khusus diikutkan untuk melaksanakan tradisi
sampi gerumbungan.
Menurut Jro Bau I Gede
Subandi, Desa Bebetin adalah cikal bakal lahirnya sampi gerumbungan di Bali
utara. Di Desa ini, terkenal bibit sapi yang bagus baik dari segi fisik maupun
cara pemeliharaan sapi. Maka itu, Desa Bebetin mempunyai semboyan Wiwit Merta
Sari. Dalam konteks bahasa Indonesia, Wiwit Merta Sari ini mempunyai arti bahwa
bibit-bibit sapi yang baik ini membawa rejeki bagi masyarakat di Desa Bebetin.
Semboyan ini juga digunakan sebagai nama kelompok tani ternak di Desa Bebetin
sejak tahun 2002.
Jro Bau Gede Subandi
menerangkan, tradisi sampi gerumbunganin di Desa Bebetin erat kaitanya dengan
tradisi budaya agraris serta ritual keagamaan hindu di Bali.
“Kepercayaan masyarakat Desa Bebetin terhadap sapi gerumbungan
sangat kental, istilahnya dulu leluhur kita untuk naur sangi (membayar kahul) ketika sapi gerumbungan
digunakan membajak dalam alih fungsi ladang menjadi lahan persawahan.
Dipercayai, Membajak sawah dengan sapi maka hasil pertanian bakal melimpah
ruah, biasanya setelah berhasil warga tersebut membayarnya dengan sesajen
“tegak kedik” dan menggelar atraksi sapi gerumbungan sebagai ucapan rasa terima
kasih atas keberhasilan yang dicapai,” tutur Jro Bau Subandi.
Karena itulah, sebagian
besar petani di Desa Bebetin sampai kini sebenarnya masih menjaga tradisi
membajak sawah dengan sepasang sapi. Selain untuk menjaga tradisi, keyakinan
bahwa hasil persawahan dan pertanian akan berlimpah jika menggunakan sapi saat
membajak masih tertanam dengan baik di pemikiran mereka.
Jro Bau Gede Subandi
mengucapkan bahwa Desa bebetin yang menjadi pionir Sampi Gerumbungan di Bali.
Warga setempat sangat cekatan dalam memelihara sapi. Mereka bis amembedakan,
sapi yang baik untuk gerumbungan maupun hanya sekedar untuk membajak sawah.
Sapi Gerumbungan di
Buleleng lebih menekankan unsur keindahan, keseragaman dari langkah kaki, serta
bentuk tubuh sapi yang tegak dan gagah.
“Berbeda dengan daerah
lain, kalau itu kan balapan mereka lebih mengutamakan kecepatan. Kalau kita
disini lebih pada unsur keindahan, keseragaman. Ini mencerminkan bahwa
masyarakat kita sangat telaten memelihara sapi. Jangan salah, warga di Desa
Bebetin terbiasa memijat badan dan kaki sapi supaya terlihat bagus, dan jika badan
sapi bagus maka nilai jual juga tinggi,” terang Jero Subandi.
Bukan hanya di Desa
Bebetin, sejumlah petani di sekitar desa-desa yang berdekatan dengan Desa
Bebetin juga masih banyak petani yang membajak dengan menggunakan sapi. Salah
satunya, Gede Nala, di Desa Sawan masih terlihat membajak areal persawahannya
dengan empat ekor sapi.
Menurut Gede Nala,
dirinya meyakini bahwa warisan membajak sawah dengan sapi dari leluhurnya akan
menurunkan kebaikan juga, walaupun kini banyak uga petani yang sudah beralih ke
traktor.
“Banyak juga petani yang
memabajak dengan traktor, tapi saya tidak bisa dirayu dengan traktor. Saya
ingin tetap mempertahankan tradisi membajak dengan sapi karena keyakinan kami
hasil pertanian pasti baik. Alam tetap terjaga tidak terkontaminasi polusi,”
terang nala saat ditemui membajak sawahnya dengan sapi.
Nala juga mengakui,
dirinya juga masuk dalam kelompok sapmpi gerumbungan di desanya. Dan sering
ikut dalam parade sampi gerumbungan di beberapa daerah di Buleleng.
Sementara itu, Kepala
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng, Nyoman Sutrisna saat
ditemui di sela-sela acara sampi Gerumbungan di Desa Bebetin mengucapkan
atraksi sampi gerumbungan ini adalah salah satu atraksi wisata yang patut
dipromosikan oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng.
Sampi Gerumbungan adalah
kekayaan khasanah budaya lokal Buleleng yang berbeda dengan daerah lain seperti
Jembrana maupun Madura. Sampi Gerumbungan di Buleleng lebih menekankan pada
sisi keindahan.
“Atraksi sapi
gerumbungan yang digelar merupakan langkah promosi mengenalkan keragaman
atraksi seni dan budaya yang dimiliki Kabupaten Buleleng, saat ini khusus pada
Bage bagian Timur. Selanjutnya kami akan mengadakan pembinaan ke Bage bagian
tengah dan barat, arah kedepan jika pembinaan ini berhasil dilakukan Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata bersama dengan desa, tentu pada festival yang digelar
mendatang parade yang ditampilkan menarik dan juga lebih atraktif,” terang
Sutrisna.