Sejarah Desa
Desa Menyali terletak di
Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng yang berjarak 14 km timur laut dari
Singaraja.
Mengenai sejarah
berdirinya Desa Menyali, ada beberapa versi yang berkembang di masyarakat
tentang. Menurut salah satu versi I Ketut Suamba ( salah seorang tokoh
masyarakat setempat ) Desa Menyali pada awalnya bernama ”Pahit Hati”yang
dikaitkan dengan makna kata ”Nyali” atau ”Empedu” yang merupakan bagian dari
organ pencernaan manusia yang ada dekat organ hati yang rasanya pahit. Sebelum
bernama pahit hati Desa Menyali dinamakan desa ”Basang Alas”. Menurut catatan
sejarah pada saat bernama desa Pahit Hati, Desa Menyali diperintah oleh Pasek
Sakti Batu Lempang. Pada masa itu, Desa Menyali melingkupi wilayah-wilayah desa
modern. saat ini seperti Jagaraga, Sangsit dan Desa Bungkulan. Bapak Ketut
Suamba memperkirakan perubahan nama Desa Menyali dari Pahit Hati ke Menyali
terjadi sekitar tahun 1920an, mungkin sekitar tahun 1924 atau 1934. Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya sebuah prasasti berupa bendera Saraswati yang
bertuliskan ”Kapaica ring sang wikan makardi Tabuh saraswat-Menyali”. Dilihat
dari berbagai informasi dan catatan sejarah mengenai sejarah keberdaan Desa
Menyali. Pada dasarnya desa Mneyali adalah desa tertua diantara desa-desa yang
ada di Kecamatan sawan saat ini, seperti Desa Jagaraga, Bungkulan dan
Sangsit.
Versi lain cerita
sejarah tentang berdirinya Desa Menyali, menyebutkan bahwa Desa Menyali dulunya
bernama ”Ume Nyale” nama ini terinspirasi oleh karena letak Desa Menyali yang
Nyalah (Tanggung) diantara desa-desa di sekitarnya. Karena posisi semacam itu,
daerah Menyali yang dulunya adalah hamparan uma (sawah atau tegalan) dinamai
Uma Nyalah yang pada akhirnya masyarakat lebih mengenalnya dengan Umanyali atau
Menyali.
Mengenai topografi
dan keadaan penduduk, luas Desa Menyali adalah 4,27 km2 dengan populasi
penduduk mencapai 5.344 jiwa, yang terdiri dari 2.691 laki-laki dan 2.653
wanita. Sebagian besar penduduk desa ini (± 36% dari penduduk produktif) berprofesi
sebagai petani karena memiliki lahan basah dan subur yang cocok untuk areal
persawahan. Terdapat sekitar ± 21% dari jumlah penduduk pekerja di desa ini
berkecimpung dalam dunia kerajinan, seperti kerajinan seni tabuh (pembuatan
rindik, tingkelik, gerantang, kebyur, dan lain-lain), pembuatan batu bata,
kerajinan pengobatan alternatif sengat lebah, dan yang paling populer adalah
kerajinan ”bokor”. Masyarakat setempat yang lain (± 15%) juga memiliki
aktivitas seperti berkebun dan berternak. Pekebunan yang
dikembangkan di Desa Menyali saat ini adalah perkebunan kopi, coklat,
kelapa, rambutan dan duren Bangkok, sedangkan peternakannya meliputi
pemeliharaan sapi, ayam, dan babi.
Desa Menyali terdiri dari 2 Banjar yang dipimpin oleh (kepala desa) ”perbekel”.Banjar tersebut yakni, Banjar Dinas Kawanan dan Banjar Dinas Kanginan. Banjar Dinas Kawanan terdiri dari 4 tempekan, yaitu suatu kelompok masyarakat yang biasanya beraktivitas dalam kegiatan di desa, baik itu dalam upacara Dewa Yadnya, Manusia Yadnya dan lain sebagainya. Banjar ini terdiri dari beberapa ”tempek” yaitu: Tempekan Campurasa, Tempekan Pancayasa, Tempekan Eka Sila, dan Tempekan Kajanan. Keempat tempekan ini disebut “tinggi kelod” dan ”tinggi sampingan”. Sementara itu Banjar Kanginan terdiri dari 5 tempekan, yaitu: Tempekan Dharma Karya, Tempekan Tamansari, Tempekan Kubuanyar, Tempekan Paninjoan, dan Tempekan Tri Tunggal. Masing–masing banjar dipimpin oleh Kelian Banjar. Sementara peraturan mengenai adat istiadat di Desa Menyali diatur oleh Kelian adat setempat.
KERAJINAN BOKOR DESA MENYALI Menurut penuturannya mayoritas penduduk desa menyali merupakan pengerajin bokor dan hiasan dari aluminium lainnya. Salah seorang warga yaitu Gede Ardana merupakan pengerajin bokor aluminium sejak tahun 1992. Tidak hanya itu beberapa penduduk lainnya juga sudah lama menggeluti hal tersebut sebagai mata pencarharian utama dari penduduk desa Menyali. Jenis dan ukuran masing-masing bokor dan kerajinan aluminium ini berbeda dari yang paling kecil hingga yang terbesar, hal ini disesuaikan dengan orang yang memesan. Motif dari masing-masing kerajinan juga berbeda, dengan itu semakin menambah keindahan kerajinan aluminium ini. Pembuatan motif dari kerajinan aluminium ini tidak dengan menggunakan cetakan namun dibuat dengan cara tradisional yaitu tangan sendiri. Bentuk motif yang dipahat pada aluminium ini teratur menggunakan alat alat seperti palu, paku dan alat-alat lainnya. Pemasaran kerajinan aluminum ini tidak hanya di sekitar desa saja, namun sampai ke luar daerah. Di Bali, daerah yang menjadi konsumen dari produk kerajinan bokor ini adalah Denpasar, Ubud dan Sukawati. Tidak hanya di Bali dan Indonesia, kerajinan bokor ini bahkan sudah dipasarkan oleh salah satu pengerajin sukses hingga ke negara lain seperti, Eropa, Chili, dan Argentina. Dari beberapa pengerajin bokor di Desa Menyali, ada salah satu pengerajin yang sudah memiliki variasi produk yang beragam. Produk-produk tersebut telah tertera dalam katalog, sehingga lengkap dengan harga masing-masing variasi produk. Ingin Bercerai di Desa Menyali, Wajib Mesamsam di Pura Dalem Ritual khusus yang dilaksanakan saat perceraian, mungkin hal yang tabu dan jarang ditemui di Bali. Bahkan, upacara ini tak selazim upacara Pawiwahan pada umumnya. Namun, di Desa Menyali, Kecamatan Sawan, Buleleng, ada tradisi khusus yang dinamai Mesamsam. Ritual ini merupakan prosesi yang wajib dilalui bagi pasangan suami istri yang bercerai. Kelian Desa Adat Menyali, Jro Gede Carita, 63, saat ditemui Bali Express (Jawa Pos Group) di Banjar Adat Taman Sari, Desa Menyali, Minggu (9/5) menceritakan, tidak ada catatan tertulis sejak kapan tradisi Mesamsam dilaksanakan di Menyali. Hanya saja, tradisi lisan ini dilaksanakan secara turun-temurun oleh warganya. Namun, belakangan tradisi Mesamsam ini sudah dimasukkan ke dalam Awig-awig Desa Adat Menyali. Dari penuturan para pendahulunya, Desa Menyali merupakan perpaduan antara Desa Bali Kuna dengan desa yang mendapat pengaruh Majapahit. Sehingga terjadi akulturasi budaya dalam kehidupan beragama. Tradisi Mesamsam ini sejatinya matur piuning secara niskala bagi suami istri yang sepakat bercerai. Prosesinya dilaksanakan di Pura Dalem Desa Menyali. Dengan tanda bukti benda uang kepeng sebanyak 11 kepeng sebagai simbolis Pangider-ider Nawa Sanga. Mesamsam penting dilaksanakan sebagai penanda jika mereka sah mengakhiri hubungan suami istrinya. Karena saat menikah, pasangan suami istri ini juga mapiuning di Pura Kahyangan Tiga dan bukti sudah sah makrama desa.
KERAJINAN BOKOR DESA MENYALI
Menurut penuturannya mayoritas penduduk desa menyali merupakan pengerajin bokor dan hiasan dari aluminium lainnya. Salah seorang warga yaitu Gede Ardana merupakan pengerajin bokor aluminium sejak tahun 1992. Tidak hanya itu beberapa penduduk lainnya juga sudah lama menggeluti hal tersebut sebagai mata pencarharian utama dari penduduk desa Menyali.
Jenis dan ukuran masing-masing bokor dan kerajinan aluminium ini berbeda dari yang paling kecil hingga yang terbesar, hal ini disesuaikan dengan orang yang memesan.
Motif dari masing-masing kerajinan juga berbeda, dengan itu semakin menambah keindahan kerajinan aluminium ini. Pembuatan motif dari kerajinan aluminium ini tidak dengan menggunakan cetakan namun dibuat dengan cara tradisional yaitu tangan sendiri. Bentuk motif yang dipahat pada aluminium ini teratur menggunakan alat alat seperti palu, paku dan alat-alat lainnya.
Pemasaran kerajinan aluminum ini tidak hanya di sekitar desa saja, namun sampai ke luar daerah. Di Bali, daerah yang menjadi konsumen dari produk kerajinan bokor ini adalah Denpasar, Ubud dan Sukawati. Tidak hanya di Bali dan Indonesia, kerajinan bokor ini bahkan sudah dipasarkan oleh salah satu pengerajin sukses hingga ke negara lain seperti, Eropa, Chili, dan Argentina.
Dari beberapa pengerajin bokor di Desa Menyali, ada salah satu pengerajin yang sudah memiliki variasi produk yang beragam. Produk-produk tersebut telah tertera dalam katalog, sehingga lengkap dengan harga masing-masing variasi produk.
Ritual khusus yang dilaksanakan saat perceraian, mungkin hal yang tabu dan jarang ditemui di Bali. Bahkan, upacara ini tak selazim upacara Pawiwahan pada umumnya. Namun, di Desa Menyali, Kecamatan Sawan, Buleleng, ada tradisi khusus yang dinamai Mesamsam. Ritual ini merupakan prosesi yang wajib dilalui bagi pasangan suami istri yang bercerai.
Kelian Desa Adat Menyali, Jro Gede Carita, 63, saat ditemui Bali Express (Jawa Pos Group) di Banjar Adat Taman Sari, Desa Menyali, Minggu (9/5) menceritakan, tidak ada catatan tertulis sejak kapan tradisi Mesamsam dilaksanakan di Menyali. Hanya saja, tradisi lisan ini dilaksanakan secara turun-temurun oleh warganya.
Namun, belakangan tradisi Mesamsam ini sudah dimasukkan ke dalam Awig-awig Desa Adat Menyali. Dari penuturan para pendahulunya, Desa Menyali merupakan perpaduan antara Desa Bali Kuna dengan desa yang mendapat pengaruh Majapahit. Sehingga terjadi akulturasi budaya dalam kehidupan beragama.
Tradisi Mesamsam ini sejatinya matur piuning secara niskala bagi suami istri yang sepakat bercerai. Prosesinya dilaksanakan di Pura Dalem Desa Menyali. Dengan tanda bukti benda uang kepeng sebanyak 11 kepeng sebagai simbolis Pangider-ider Nawa Sanga.
Mesamsam penting dilaksanakan sebagai penanda jika mereka sah mengakhiri hubungan suami istrinya. Karena saat menikah, pasangan suami istri ini juga mapiuning di Pura Kahyangan Tiga dan bukti sudah sah makrama desa.
Jenis dan ukuran
masing-masing bokor dan kerajinan aluminium ini berbeda dari yang paling kecil
hingga yang terbesar, hal ini disesuaikan dengan orang yang memesan.
Motif dari masing-masing kerajinan juga berbeda, dengan itu semakin menambah
keindahan kerajinan aluminium ini. Pembuatan motif dari kerajinan aluminium ini
tidak dengan menggunakan cetakan namun dibuat dengan cara tradisional yaitu
tangan sendiri. Bentuk motif yang dipahat pada aluminium ini teratur
menggunakan alat alat seperti palu, paku dan alat-alat lainnya.
Pemasaran kerajinan aluminum ini tidak hanya di sekitar desa saja, namun sampai
ke luar daerah. Di Bali, daerah yang menjadi konsumen dari produk kerajinan
bokor ini adalah Denpasar, Ubud dan Sukawati. Tidak hanya di Bali dan
Indonesia, kerajinan bokor ini bahkan sudah
dipasarkan oleh salah satu pengerajin sukses hingga ke negara lain seperti,
Eropa, Chili, dan Argentina.
Dari beberapa
pengerajin bokor di Desa Menyali, ada salah satu pengerajin yang sudah memiliki
variasi produk yang beragam. Produk-produk tersebut telah tertera dalam
katalog, sehingga lengkap dengan harga masing-masing variasi produk.
Ritual khusus yang
dilaksanakan saat perceraian, mungkin hal yang tabu dan jarang ditemui di Bali.
Bahkan, upacara ini tak selazim upacara Pawiwahan pada umumnya. Namun, di Desa
Menyali, Kecamatan Sawan, Buleleng, ada tradisi khusus yang dinamai Mesamsam.
Ritual ini merupakan prosesi yang wajib dilalui bagi pasangan suami istri yang
bercerai.
Kelian Desa Adat Menyali, Jro Gede Carita, 63, saat ditemui Bali
Express (Jawa Pos Group) di Banjar Adat Taman Sari, Desa Menyali, Minggu
(9/5) menceritakan, tidak ada catatan tertulis sejak kapan tradisi
Mesamsam dilaksanakan di Menyali. Hanya saja, tradisi lisan ini dilaksanakan
secara turun-temurun oleh warganya.
Namun, belakangan tradisi Mesamsam ini sudah dimasukkan ke dalam
Awig-awig Desa Adat Menyali. Dari penuturan para pendahulunya, Desa Menyali
merupakan perpaduan antara Desa Bali Kuna dengan desa yang mendapat pengaruh
Majapahit. Sehingga terjadi akulturasi budaya dalam kehidupan beragama.
Tradisi Mesamsam ini sejatinya matur piuning secara niskala bagi
suami istri yang sepakat bercerai. Prosesinya dilaksanakan di Pura Dalem Desa
Menyali. Dengan tanda bukti benda uang kepeng sebanyak 11 kepeng sebagai simbolis
Pangider-ider Nawa Sanga.
Mesamsam penting dilaksanakan sebagai penanda jika mereka sah
mengakhiri hubungan suami istrinya. Karena saat menikah, pasangan suami istri
ini juga mapiuning di Pura Kahyangan Tiga dan bukti sudah sah makrama desa.