SELAYANG PANDANG DESA BUNGKULAN
·
Legenda dan Sejarah Desa
Desa Bungkulan jaman
dahulu merupakan daerah belantara, daerah ini merupakan wilayah kekuasaan Jro
Pasek Menyali, sedangkan disebelah timur Tukad Aya/Desa Kubutambahan menjadi wilayah
kekuasaan Jro Pasek Bulian.
Bermula dari kedatangan
I Gusti Ngurah Tambahan ke Bulian, beliau berasal dari Desa Tambahan Bangli,
Pada saat kedatangan I Gusti Ngurah Tambahan diwilayah Bulian, wilayah tersebut
tertangganggu keamanannya Pasek Bulian mohon bantuan kepada I Gusti Ngurah
Tambahan untuk memulihkan keamanan diwilayah tersebut. Berkat kesaktian I Gusti
Ngurah Tambahan dan sebilah keris pusakanya yang bernama KI BAAN KAU, keamanan
wilayah tersebut pulih kembali. Atas jasanya kemudian Jro Pasek Bulian
memberikan tempat tinggal tetap kepada I Gusti Ngurah Tambahan yaitu ditepi “
siring kauh “ wilayah Bulian ( dipinggir sebelah timur tukad Aya ), disanalah I
Gusti Ngurah Tambahan mulai membuka lahan persawahan.
Setelah peristiwa
tersebut diatas,datanglah Jro Pasek Menyali yang berkuasa disebelah barat tukad
Aya, menghadap kepada jro Pasek Bulian. Pasek Menyali memaparkan maksud
kedatangannya bahwa seorang Denawa yang disebut Menaru sering mengganggu
ketentraman penduduk, terutama pada waktu diadakan upacara ngusaba desa,dimana
penari rejang paling akhir ( kitut rejang ) sering diculik / dilarikan oleh I
Menaru sehingga upacara menjadi tertanggu dan masyarakat ketakutan.
Pasek Bulian kemudian
menunjukan orang yang mungkin bisa membantu memulihkan keamanan Pasek Menyali
yaitu : I Gusti Ngurah Tambahan setelah mendapatkan kesepakatan dan kesanggupan
dari I Gusti Ngurah Tambahan, lalu I Gusti Ngurah Tambahan beserta pengikutnya
dating untuk menyelidiki keadaan wilayah Pasek Menyali.
Berkat Kedigjayaan beliau akhirnya diketahuilah tempat tinggalnya I Menaru
yaitu di GOA
BATU MEJAN / Togtog polo, daerah ini merupakan daerah perbatasan Jagaraga,Girimas sekarang (
dahulu Sangsit ) dan Bungkulan. Dengan keris pusakanya yang bernama KI BAAN KAU I menaru dapat ditaklukan karena
jasa beliau, maka Jro Pasek Menyali memberikan hadiah tanah /wilayah disebelah
barat tukad Aya.
Dengan didapatkannya hadiah dari Jro pasek Bulian dan Jro pasek Menyali
yang wilayahnya sebagian disebelah timur Tukad Aya, sebagian lagi disebelah
barat Tukad Aya, Maka I Gusti Ngurah Tambahan menyatukan kedua wilayah tersebut
menjadi satu ( Abungkul ) yang disebut BUNGKULAN yang kita warisi sampai
sekarang. Disamping itu nama Bungkulan identik dengan bulian, untuk mengenang
jasa Jro Pasek Bulian kepada I Gusti Ngurah Tambahan. Setelah Desa Bungkulan
terbentuk,Pura Pasek milik jro Pasek Menyali dijadikan Pura Desa
Bungkulan,Keris Pusaka I Gusti Ngurah Tambahan sampai sekarang masih tersimpan
didusun Jro Gusti, Bungkulan.
Demikian secara ringkas
dan sederhana dapat kami paparkan riwayat/sejarah Desa Bungkulan, yang mana
sampai saat ini penduduk yang tinggal di Desa ini dengan banyak trah /
Golongan, namun keamanan masih dapat kita jaga bersama-sama dengan menjunjung
tinggi rasa persaudaraan diantara pendatang yang ada, sehingga suasana tetap
kondusif. Bilamana dikemudian hari ada suatu temuan yang mampu menjelaskan asal
– usul nama Desa Bungkulan dengan kesepakatan bersama (Tokoh Mayarakat
Bungkulan), maka tidak menutup kemungkinan akan ada tambahan cerita sejarah
dari penyampaian saat ini, hal itu dikarenakan sampai saat ini belum ada yang
memastikan secara pasti cerita sejarah yang telah tertuang diatas.
Tradisi
Nyepi Uma (Sawah) di Desa Bungkulan
Krama Subak Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, memiliki
tradisi yang unik, yakni Nyepi Sawah atau biasa disebut dengan Nyepi Uma. Nyepi
Uma dilaksanakan oleh petani yang menanam beras putih, yang digelar selama
sehari. Saat Nyepi Uma, warga dan petani dilarang masuk areal persawahan atau
subak.
Rentetan upacara menjelang Nyepi Uma dilaksanakan 2 hari sebelum
pelaksanaan Nyepi Uma. Dimulai dari Krama Subak bersama perwakilan perangkat
desa melaksanakan upacara di Pura Ulun Danu Batur. Tirta yang ditunas itu
kemudian disebar ke masing-masing subak untuk dilakukan upacara lagi. Keesokan
harinya bertepatan dengan Purnama Kedasa, krama Subak melaksanakan upacara
Ngayu-ayu. Upacara adat Ngayu-ayu adalah sebuah upacara adat yang diadakan
setiap 1 tahun sekali. Upacara Ngayu-ayu merupakan bentuk rasa syukur Krama
Subak Desa Bungkulan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas diberikannya kelimpahan
hasil bumi. Dan keesokan harinya setelah dilaksanakan Nyepi Uma, dilanjutkan
dengan Ngembak yang artinya warga dan petani bebas melakukan aktivitasnya di
areal persawahan.
Dalam penyepian ini ada sanksi yang dijatuhkan bagi yang melanggar. Petani
yang nekat melanggar ritual tersebut maka akan dikenakan sanksi berupa denda.
Untuk nominal denda diatur sesuai kesepakatan karma subak masing-masing tempek.
Ada enam tempek yang melaksanakan Nyepi Uma di Desa Bungkulan. Ada Tempek
Subak Yeh Lembu, Tempek Subak Lebeha, Tempek Subak Dalem, Tempek Subak
Pungakan, Tempek Subak Guliang, dan Tempek Subak Yangai.
Makna dari pelaksanaan Penyepian Sawah ini juga tak jauh berbeda dari
pelaksanaan Nyepi pada umumnya, yakni mengendalikan Buana Agung dan Buana Alit,
dan memberikan kesempatan kepada semua makhluk untuk bernapas dan beristirahat.